Sahabat Wardah, Lidah memang tak bertulang. Sangat ringan. Saking ringannya, mudah bagi kita untuk mengucapkan apapun; seperti memberi kabar baik, berdialog, menghibur dan hal baik lainnya atau bahkan mencela, menghina, menghakimi dan menceritakan hal buruk lainnya. Namun bagi muslim yang beriman, Ia tidak menganggap enteng dan menghina seorang pun. Karena seorang Muslim adalah saudara untuk Muslim lainnya. Ia tidak merendahkannya dan tidak menghina saudara-saudaranya sesama kaum Muslimin.
Di era digitalisasi saat ini, Ghibah atau menggunjing orang bukan hanya melalui lidah saja, dengan “jempolpun” yang bertulang itu menjadi ringan bagi orang yang terbiasa dengan ungkapan dan celaan menghina atau bahkan sekedar cerita yang sebenarnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tahukah kalian apa itu ghibah?”
Mereka menjawab: “Allah dan RasulNya yang lebih tahu.” Beliau bersabda: “Yaitu engkau menceritakan tentang saudaramu yang membuatnya tidak suka.” Lalu ditanyakan kepada beliau: “Lalu bagaimana apabila pada diri saudara saya itu kenyataannya sebagaimana yang saya ungkapkan?” Maka beliau bersabda: “Apabila cerita yang engkau katakan itu sesuai dengan kenyataan maka engkau telah meng-ghibahinya. Dan apabila ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dirinya maka engkau telah berdusta atas namanya (berbuat buhtan).”
(HR. Muslim).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّ ۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًا ۗ اَ يُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُ ۗ وَا تَّقُوا اللّٰهَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّا بٌ رَّحِيْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.” (QS. Al-Hujurat 49: Ayat 12)
Namun ada pula Ghibah yang diperbolehkan, apa saja itu?
6 SEBAB DIBOLEHKAN GHIBAH
- Seseorang yang didzalimi
Ia boleh untuk melaporkan kepada penguasa atau ke seorang hakim atau selain keduanya yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan untuk mengembalikan atau memberikan keadilan kepadanya. Maka ia menyebutkan contohnya, bahwasanya fulan telah mendzalimi aku, berbuat demikian kepadaku, mengambil dariku atau sejenis perkataan ini.
- Berusaha untuk merubah kemungkaran dan mengembalikan seorang pelaku maksiat kepada jalan kebenaran
Contohnya ia mengatakan kepada orang yang mampu untuk menghilangkan kemungkaran tersebut dengan mengatakan, “Fulan (ia menyebutkan namanya) melakukan demikian, maka laranglah ia dari perkara tersebut” atau seperti perkataan ini dan tujuannya adalah untuk menghilangkan kemungkaran tersebut. Jika tujuannya bukan demikian maka ia tidak boleh untuk melakukannya.
- Meminta fatwa
Meminta fatwa dengan cara ia berkata kepada seorang Mufti, contohnya “Bapakku mendzalimi aku atau saudaraku atau orang lain, bolehkah ia melakukan tersebut atau tidak dan apa caraku agar aku bisa selamat dari perkara ini?” atau sejenisnya atau boleh juga seorang suami mengatakan istriku melakukan demikian atau sebaliknya suamiku melakukan demikian, maka ini boleh karena ada kebutuhan. Namun yang lebih hati-hati jika seseorang ketika bertanya cukup mengatakan, “Apa pendapatmu tentang seorang laki-laki yang demikian atau seorang suami atau seorang istri yang melakukan hal demikian.” Karena apabila tujuan telah tercapai tanpa menyebut nama maka ini dibolehkan. Namun juga jika dia menyebut nama ini juga dibolehkan. Hal ini berdasarkan hadits Hindun ketika dia melaporkan kepada Rasulullah:
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ…
“Wahai Rasulullah sesungguhnya Abu Sufyan (suaminya Hindun), ia adalah seorang yang pelit.”
Dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak melarangnya.
- Memperingati kaum Muslimin dari satu keburukan atau menasehati mereka
Diantaranya yaitu menyebutkan cela seorang perawi hadits atau seorang saksi. Ini dibolehkan berdasarkan konsensus atau ijma’ kaum Muslimin bahkan ini wajib karena ada kebutuhan. Contoh lain dari jenis yang keempat ini yaitu jika seseorang meminta pendapat kepada orang lain jika ia ingin menikahkan putrinya atau anaknya atau saudarinya atau ingin membangun bisnis dengan seseorang atau ingin menitipkan barang atau sejenisnya maka wajib bagi orang yang diminta pendapatnya untuk menjelaskan keadaan orang tersebut. Jika tujuan telah tercapai cukup dengan mengatakan tidak baik anda bermuamalah dengan orang tersebut atau tidak baik anda menikahkan keluarga anda dengan orang tersebut atau jangan engkau lakukan perkara ini, jika ini sudah cukup maka tidak boleh ditambahkan dengan menyebut aib-aib orang tersebut yang lain. Namun jika tujuan belum bisa tercapai maka boleh jika dijelaskan secara rinci apa saja aib orang tersebut.
Juga diantara contoh jenis yang keempat ini jika ada seorang yang ingin membeli budak yang dikenal dia sering mencuri atau berzina atau minum khamr atau selainnya, maka wajib bagi kita untuk menjelaskan kepada orang yang ingin membeli budak tersebut jika ia tidak tahu. Namun tidak khusus untuk budak saja, namun semua barang yang ingin dibeli jika ada aibnya, jika ada kerusakannya, wajib untuk dijelaskan kepada seorang pembeli jika ia tidak mengetahuinya.
Contoh lain lainnya, jika kita melihat seorang yang belajar kepada seorang ahli bidah atau orang yang fasik dan kita takut orang tersebut mendapatkan bahaya atau tersesat, maka wajib bagi kita untuk menasehati orang tersebut dengan menjelaskan keadaan orang yang ia datangi. Dan tentu wajib disini kita meniatkan menasehati orang tersebut karena terjadi kesalahan dalam hal ini. Seseorang menyangka bahwasanya dia menasehati padahal dia sebenarnya sedang iri, sedang dengki dan sedang hasad karena ia digoda oleh setan dan ia merasa telah memberikan nasehat. Maka ini perlu untuk kita perhatikan.
Juga contoh lain dari jenis keempat ini yaitu jika ada seorang yang memegang jabatan tertentu namun ia tidak melaksanakan tugasnya dengan baik atau dia seorang yang fasik atau seorang yang lalai. Maka wajib bagi kita untuk melaporkan orang tersebut kepada atasannya untuk mencopot jabatannya atau mengganti dia dengan orang lain yang lebih pantas untuk menduduki jabatan tersebut. Atau ia berusaha menasehati bawahannya dan jika ia tidak mengambil nasehatnya maka ia bisa menggantinya.
- Orang yang terang-terangan melakukan perbuatan dosa atau perbuatan bid’ah
Ini seperti orang yang terang-terangan meminum khamr atau merampas harta manusia atau mengambil harta orang lain dengan cara yang dzalim atau melakukan perkara-perkara yang batil, maka ini boleh untuk dighibahi, boleh disebutkan apa yang ia terang-terangan melakukannya. Namun tidak boleh disebutkan dosa-dosa yang ia melakukannya secara sembunyi-sembunyi kecuali jika ada sebab lain yang telah kita sebutkan sebelumnya.
- Ketika seorang menyebutkan ciri tertentu
Contohnya jika ada seorang yang terkenal dengan panggilan “orang yang rabun matanya” atau “orang yang pincang” atau “orang yang tuli” atau “orang yang buta” atau “orang yang pesek” atau “orang yang juling” atau selainnya. Ini boleh dengan tujuan untuk menyebutkan ciri seseorang. Namun tidak boleh kita menyebutkan semua sifat-sifat tadi jika kita mengejek orang-orang tersebut. Dan jika bisa disebutkan ciri yang lain maka itu tentu lebih baik.
Ini adalah enam sebab yang disebutkan oleh para ulama yang dibolehkan ghibah pada enam perkara tersebut, sesuai perkataan Imam Nawawi Rahimahullah.
Oleh : Jamal Fauzi,
dikutip dari berbagai sumber
Semoga Allah menjauhkan kita dari suka berghibah